Thursday, December 27, 2012

Bunda, Rima dan Paman Beruang

"Bunda, kenapa kita disini? Rima mau pulang, disini Rima nggak bisa bobo."
Aku mengusap lembut rambut Rima, air mata tertahan terasa tercekat ditenggorokan, "Kita belum bisa pulang sekarang."
"Kenapa, Bunda? Dirumah kan enak, disini banyak nyamuk, Rima gak suka."
Aku tak kuasa lagi menahan tangis, air mata tumpah ruah membentuk aliran sungai dipipiku, ku peluk erat anak semata wayangku, Rima. Erat. dia masih terlalu muda untuk mengerti apa yang terjadi, akupun tak tau harus bagaimana menjelaskan ini padanya. Dingin malam terasa menyesap ke dalam tulang, tangis dan teriakan histeris terdengar dari sekitar tenda kami.
***

26 Desember 2006

"Rima, udahan dulu yuk mainnya! makan dulu sini sama bunda."
"Iya Bunda," gadis kecil manis itu menghampiriku dengan paman beruang, boneka kesayangannya.
"Nih, lihat, bunda masakin rolade kesukaan kamu."
"Asyiiikk, Rima makan sama paman beruang ya, Bunda."
Aku tersenyum melihat tingkah putri pertamaku ini, "Oh iya, Rima. Besok ayah pulang lho!"
"Yang bener, Bunda? waah, Rima nanti mau telepon ayah ya, Rima mau dibeliin oleh-olehnya dua."
"Kok dua?"
"Iya, satu buat Rima, satu buat paman beruang."

"AIR DATANG!! AIR DATANG!!" Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari jalan didepan rumah kami, orang-orang berlarian sambil tak henti berteriak.
Aku berlari keluar rumah dan bertanya, pada pak Mahmud, "ada apa, pak?"
"Air laut meninggi dek Santi! cepat bawa Rima, kita pergi ketempat yang lebih tinggi!"
Langsung saja kugendong Rima yang sedang asyik melahap makanannya.
"Bunda mau kemana? Rima kan lagi makan."
"Udah Rima sekarang nurut sama bunda, Rima nggak usah komentar dulu, Rima peluk paman beruang aja!" Anak kecil itu memeluk erat boneka beruang kesayangannya, mulutnya masih tampak menguyah makanan yang belum sempat ditelan.
Tensi mulai meninggi, orang-orang berlarian panik. Aku sebenarnya masih belum jelas dengan apa yang terjadi, tapi hatiku berkata "Lari! bepikir saja nanti!" Kudekap erat Rima dalam gendonganku, terus saja Dzikir melantun dalam hatiku. sayup-sayup terdengar seseorang berteriak, "Lari kearah Mesjid Agung!" aku pun mempercepat langkahku, sekilas aku melihat Rima memejamkan matanya karena ketakutan, suara teriakan-teriakan bising kepanikan disekitarku tak bisa lagi kudengar, aku memacu langkah kakiku mencoba lebih cepat dari kuda.
Teriakan-teriakan itu seketika berganti gemuruh kencang yang seakan mengejar dan menerjang dengan cepat. Air setinggi 3 lantai rumah melaju dengan kecepatan pesawat tempur. Masjid agung telah terlihat didepan mataku, aku memacu langkahku lebih cepat lagi. Tuhan menyayangiku dengan segala kebesaran-Nya. Seketika tanpa aku sadari aku telah berada dilantai atas Mesjid Agung. gemuruh air terdengar makin kencang, terus menerjang tanpa ampun, aku meringkuk sambil memeluk Erat Rima, hingga meninggalkan bekas biru dilengannya yang aku ketahui kemudian. Bumi yang kami pijak terasa bergoyang saat air menyapa bagian bawah Mesjid Agung. Kami bertahan, sampai malam menyapa.
***

Melalui telepon satelit yang ada di pengungsian, akhirnya suamiku dapat menghubungiku. diujung telepon sana dia tak henti-hentinya mengucap syukur. Rima sekarang tampak tertidur pulas, memeluk Paman Beruangnya.

0 comments :

Post a Comment