Monday, May 11, 2009

Buku Harian Nara (bag. 2)

"BUKU HARIAN NARA (bag. 2)"
BIMA ARYA SUGIARTO

08 Agustus 2002
Buku hariankuu...
Tiga minggu sudah tak kucurahkan isi hatiku. Kupikir tak elok jika halamanmu hanyalah berisi untaian kepedihan dan caci maki belaka. Mungkin benar kata orang, kemarau setahun dihapus oleh hujan satu hari. Kisah kasih tiga tahun, tamat oleh perselingkuhan dua minggu. Janji sehidup semati, musnah oleh sebaris SMS. Tak lagi kini ku berani mengukur kadar kesetiaan lelaki.

Razi berkali-kali menyatakan cintanya kembali. Laki-laki yang baik, pintar dan sederhana. Namun ku bergeming. ku yakin itu bukan perkara patah hati. Tapi mungkin karena tipe lelaki saja. Aku tak terlalu suka lelaki yang lebih muda.

12 Agustus 2002
Siang tadi aku lewat pendopo tempat latihan gamelan dikampus. Dari kejauhan kulihat sosok Alex yang jangkung tengah dikelilingi anak-anak primary school. Sempat kuhampiri dan berbincang dengannya beberapa menit. Baru ku tahu juga bahwa dia mengajar gamelan 2 minggu sekali. Ini ternyata latihan terakhir menjelang pentas peringatan 17 Agustusan di Goodwood Community Centre sabtu nanti. Campur aduk juga perasaanku melihat gairah anak-anak itu berlatih gamelan. Bangga karena gaung budaya tradisional Indonesia telah jauh melintas benua dan juga usia. Sedih, karena seingatku tak pernah kujumpai pelajaran gamelan di sekolah dasar Indonesia. Malu, karena kusadari belum sekali pun aku menyentuh gamelan seumur hidupku.

17 Agustus 2002
Baru kali ini rasanya peringatan 17 Agustus begitu berkesan bagiku. Ternyata menyanyikan lagu kebangsaan dan menyaksikan merah putih diusung ditengah musim dingin di negeri orang bisa membuatku merinding. Tak pernah juga setekun tadi siang aku menyimak tarian-tarian daerah Indonesia. Puncaknya tak lain adalah suguhan gamelan yang luar biasa dari anak-anak asuhan Alex. Kuhampiri Alex seusai pertunjukan untuk memberikan selamat. Entah apa yang terlintas dipikiranku tadi ketika tiba-tiba saja kukatakan tertarik untuk ikut kelas gamelan. Untung saja Alex langsung memberikan pilihan paket dan jadwal, sembari mengingatkan untuk sepandai mungkin mengatur waktu. Setelah itu kami bercakap lama sekali. Hingga tahu-tahu acara usia dan panitia sudah mulai berbenah.

Agenda berikutnya tadi ternyata jalan2 ke Glenelg Beach yang idenya mendadak muncul dari Alwis, temanku asal minang yang kebetulan jadi ketua panitia. Kuhitung ada empat belas orang yang satu bus denganku tadi, termasuk Alex. Ia memang terkenal dekat dengan teman-teman Indonesia di kampus. Lepas betul gaya tertawanya ketika mendengar banyolan konyol Alwis di bus tadi. Sulit bagiku untuk membayangkan pemandangan serupa di kampus-kampus tanah air. ketika hubungan dosen dan mahasiswa begitu cair. Tiba-tiba saja kuingin tulis kembali kata-kata Alex di e-mailnya, "for the sake of the Australian great egalitarian tradition..."

18 Agustus 2002
Seharian kuhabiskan waktu di laboratorium komputer kampus. padahal hari ini hari minggu. Bukan tugas kuliah yang menggiringku berselancar di internet tadi. Tiba-tiba saja kuingin mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang Alex. Mesin pencari Google, telah memberikan banyak data menarik tentangnya. Puluhan artikelnya bertebaran di berbagai jurnal internasional. Empat dari tujuh bukunya telah dicetak ulang lebih dari tiga kali. Aku menggelengkan kepala sendiri, ketika setelah aku hitung-hitung usianya baru dua puluh lima tahun saat gelar Doktor diraihnya Dari Monash University, Melbourne. Namun, nyaris tak ada informasi berarti tentang kehidupan pribadinya, selain ceritanya tentang ibunya yang ternyata keturunan Yahudi di salah satu wawancara majalah Tempo tahun lalu. Yang jelas, hingga kini ia masih melajang. Kupikir kecintaan dan dedikasinya terhadap ilmu yang digeluti pastilah menyita sebagian besar waktunya. Lagipula terlambat menikah atau bahkan tak pernah menikah bukan lagi hal yang janggal di negeri ini.

20 Agustus 2002
Tadi adalah bimbinganku yang keempat kalinya dengan Alex. Cuma tiga puluh menit tadi kami berdiskusi. Ia pamit terburu-buru karena harus menjemput temannya dari Paris yang sudah menunggu di airport. Namun, bukan singkatnya waktu bimbingan yang malam ini jadi lamunanku. Tapi sorot matanya yang tak pudar dari pikiranku.

Buku harianku...
Malu betul rasanya kuakui malam ini. Aku telah jatuh cinta lagi. Semudah dan sesingkat ini. Baru tiga puluh lima hari yang lalu padahal ku bilang patah hati. tak mampu lagi kini ku jelaskan kenapa aku jatuh cinta. Mungkin kepintarannya, mungkin juga kematangannya, atau jangan-jangan hanya sorot matanya...

21 Agustus 2002
Lagi-lagi kumenulis sambil tersenyum. Latihan gamelan tadi pagi sangat menyenangkan. Mungkin karenma tidak banyak murid yang datang hari ini. Artinya, kesempatan ngobrol dengan Alex jadi lebih banyak. Tapi jika kuingat-ingat, memang akhir-akhir ini waktu luang Alex untuk sekedar berbincang santai denganku jadi lebuh banyak. Padahal teman-teman yang lain katanya agak kesulitan untuk mengatur waktu bimbingan dengannya.

Sempat pula aku iseng tadi bertanya, kenapa ia belum juga menikah. Sayangnya ia hanya tertawa sambil mementung kepalaku dengan suling.

Kini, tak mau pusing ku berspekulasi tentang arah hubungan. Mengapa tak kita biarkan diri kita hanyut dalam ketidakpastian? Patokan target dan ekspektasi hanyalah jadi pelengkap penderita di kemudian hari. Tak skan kuingkari seluruh pernak-pernik dan warna-warni batinku. Akan kubuka semua pilihan hidup selebar mungkin. Jikalau menikah dengan seorang profesor dan menghabiskan sisa hidup dengan tentram di pinggiran kota Adelaide jadi guratan takdir seorang Nara, tentu akan kujalani dengan setulus hati.

THE END..

Diterbitkan oleh PT Mizan Publika, 2006
ISBN 9793062827, 9789793062822
243 halaman
Dikutip dari pratinjau terbatas Google

cat: beberapa halaman bukan termasuk pratinjau terbatas Google, sehingga tidak ditampilkan disini.

0 comments :

Post a Comment